Tanya:
Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Bagaimana pandangan Islam terhadap berinteraksi dengan hal-hal gaib? Mengingat banyak orang yang diberi kemampuan lebih untuk bisa berinteraksi dengan alam lain.
Jawab:
Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Sebelum menjawabnya, kita akan perjelas maksud dari berinteraksi hal-hal gaib, dan alam lain. Kata gaib sebenarnya berasal dari Bahasa Arab (غاب-يغيب-غيب) yaitu tidak tampak, tertutup, pergi (Lihat: Muhammad bin Mukram bin Mandzur (w. 711 H), Lisan al-Arab, hal. 1/ 654). Jadi segala sesuatu yang tak tampak dari panca indera manusia sebenarnya bisa dikatakan sebagai hal gaib. Dalam Alquran sendiri kata-kata gaib biasanya merujuk kepada lawan sesuatu yang tampak. Kata gaib dan derivasinya disebutkan sekitar 54 kali. Maka dalam Islam, beriman kepada hal-hal gaib adalah termasuk rukun iman. Disebutkan dalam Surat al-Baqarah: 2
هدى للمتقين الذين يؤمنون بالغيب
(Alquran) menjadi petunjuk kepada orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang beriman kepada hal-hal gaib.
هدى للمتقين الذين يؤمنون بالغيب
(Alquran) menjadi petunjuk kepada orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang beriman kepada hal-hal gaib.
Segala sesuatu yang tak tampak dari panca indera manusia, tetapi disebutkan dalam Alquran bisa disebut dengan hal gaib, seperti malaikat, hari akhir, alam kubur, jin dan lain sebagainya termasuk takdir dan masa depan seseorang. Tetapi sekarang, sepertinya ada penyempitan makna hal gaib atau alam gaib. Alam gaib diidentikkan dengan alam jin saja. Maka berinteraksi dengan alam gaib identik dengan berinteraksi dengan jin. Alam gaib identik dengan alam jin saja. Terkait pandangan Islam terhadap interaksi manusia dengan alam jin, maka disini ada beberapa permasalahan. Pertama, apa mungkin seseorang dapat melihat jin. Kedua, bagaimana hukum bermuamalah dengan jin. Disebutkan dalam Alquran Surat al-A’raf: 27
إنه يراكم هو وقبيله من حيث لا تروهم
Jin dan golongannya mereka melihat kalian (wahai manusia), tanpa kalian bisa melihat mereka.
إنه يراكم هو وقبيله من حيث لا تروهم
Jin dan golongannya mereka melihat kalian (wahai manusia), tanpa kalian bisa melihat mereka.
Ayat ini secara sekilas menjelaskan bahwa manusia tidak bisa melihat bangsa jin, tetapi jin bisa melihat manusia. Maka Imam Syafi’i (w. 204 H) pernah berkata sebagaimana dituliskan oleh Muhammad bin Husain al-Abiri (w. 363 H) dalam kitabnya Manaqib as-Syafi’i, 1/ 91:
عن حرملة بن يحيى، قال: سمعت الشافعي يقول: (من زعم من أهل العدالة أنه يرى الجن أبطلنا شهادته لقول الله تعالى {إنه يراكم هو وقبيله من حيث لا تروهم} ، إلا أن يكون نبي)
Dari Harmalah dia mendengar Imam Syafi’i berkata: Jika ada orang yang berpredikat adil, dia menyangka bisa melihat jin maka kami akan batalkan kesaksiannya, kecuali jika dia seorang Nabi.
عن حرملة بن يحيى، قال: سمعت الشافعي يقول: (من زعم من أهل العدالة أنه يرى الجن أبطلنا شهادته لقول الله تعالى {إنه يراكم هو وقبيله من حيث لا تروهم} ، إلا أن يكون نبي)
Dari Harmalah dia mendengar Imam Syafi’i berkata: Jika ada orang yang berpredikat adil, dia menyangka bisa melihat jin maka kami akan batalkan kesaksiannya, kecuali jika dia seorang Nabi.
Secara sekilas memang Imam Syafi’i tidak percaya bahwa seseorang bisa melihat jin. Dalilnya adalah ayat diatas. Tetapi Ibnu Hajar al-Asqalani as-Syafi’i (w. 852 H) dalam kitabnya Fathu al-Bari, hal. 4/ 489 menjelaskan lebih lanjut:
وأنه قد يتصور ببعض الصور فتمكن رؤيته وأن قوله تعالى إنه يراكم هو وقبيله من حيث لا ترونهم مخصوص بما إذا كان على صورته التي خلق عليها
(Jin) itu bisa berubah-ubah bentuk dan mungkin bisa dilihat oleh manusia. Adapun firman Allah “sesungguhnya mereka dan golongannya melihatmu sedangkan kalian tidak bisa melihatnya” itu khusus pada bentuk jin yang asli.
وأنه قد يتصور ببعض الصور فتمكن رؤيته وأن قوله تعالى إنه يراكم هو وقبيله من حيث لا ترونهم مخصوص بما إذا كان على صورته التي خلق عليها
(Jin) itu bisa berubah-ubah bentuk dan mungkin bisa dilihat oleh manusia. Adapun firman Allah “sesungguhnya mereka dan golongannya melihatmu sedangkan kalian tidak bisa melihatnya” itu khusus pada bentuk jin yang asli.
Jadi, mungkin saja bagi manusia melihat jin dalam bentuk yang tidak asli, yaitu ketika jin berubah bentuk lain. Hal ini pernah terjadi pada salah satu sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab. Suatu ketika beliau menangkap jin yang mencuri kurma di kebunnya. Ubay bin Ka’ab berkata kepada Jin, “Apa yang bisa menyelamatkan kami (manusia) dari (gangguan) kalian?” Si jin menjawab, “Ayat Kursi… Barangsiapa membacanya di waktu sore, maka ia akan dijaga dari (gangguan) kami hingga pagi, dan barangsiapa membacanya di waktu pagi, maka ia akan dijaga dari (gangguan) kami hingga sore”. Lalu paginya Ubay menemui Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- untuk menuturkan hal itu, dan beliau menjawab:
صَدَقَ الْخَبِيثُ
“Si buruk itu berkata benar”. (HR. Hakim 2064, Ibnu Hibban 784, Syuaib al-Arnauth mengatakan: Sanad-nya kuat).
صَدَقَ الْخَبِيثُ
“Si buruk itu berkata benar”. (HR. Hakim 2064, Ibnu Hibban 784, Syuaib al-Arnauth mengatakan: Sanad-nya kuat).
Bahkan Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) menjelaskan dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa, hal. 15/ 7, bahwa melihat jin itu tak hanya bisa dialami oleh orang yang saleh saja, orang yang tidak saleh juga bisa melihat. Beliau berkata:
بل قد يراهم الصالحون وغير الصالحين أيضا؛ لكن لا يرونهم في كل حال
Melihat jin itu bisa dialami oleh orang yang saleh maupun yang tak saleh, tetapi melihatnya tidak setiap waktu.
بل قد يراهم الصالحون وغير الصالحين أيضا؛ لكن لا يرونهم في كل حال
Melihat jin itu bisa dialami oleh orang yang saleh maupun yang tak saleh, tetapi melihatnya tidak setiap waktu.
Perlu diketahui bahwa jin itu sebagaimana manusia, ada yang muslim ada pula yang non-muslim, ada yang baik tetapi banyak yang jahat. Alquran mencatat bahwa dahulu Nabi Sulaiman AS pernah memiliki pegawai dari bangsa jin. Sebagaimana dalam Surat Saba’: 12
ومن الجن من يعمل بين يديه بإذن ربه
Dan dari jin ada yang bekerja kepada Sulaiman atas ijin Allah Tuhan Sulaiman.
ومن الجن من يعمل بين يديه بإذن ربه
Dan dari jin ada yang bekerja kepada Sulaiman atas ijin Allah Tuhan Sulaiman.
Maka berinteraksi dengan jin ini memiliki beberapa hukum. Bisa jadi baik dan boleh, yaitu jika manusia menyuruh jin untuk berbuat kebaikan, untuk beribadah kepada Allah SWT. Bisa jadi mubah atau boleh, jika manusia memerintahkan jin untuk melakukan sesuatu yang mubah juga, sebagaimana juga meyuruh manusia untuk berbuat sesuatu yang mubah. Tapi bisa menjadi haram, jika memerintahkan jin untuk melaksanakan sesuatu yang haram, seperti membunuh, mengganggu dan lainnya (lihat: Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Majmu’ al-Fatawa: 11/ 307). Tetapi jika manusia meminta perlindungan kepada jin, maka itu tidak boleh. Sebagaimana jelas disebutkan dalam Surat al-Jin: 6
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.”
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.”
Memang jin, dilihat dari sudut pandang manusia itu disebut alam gaib. Tetapi sebenarnya bangsa jin itu sendiri juga tidak bisa mengetahui hal-hal gaib. Maksudnya, ada hal-hal gaib yang hanya diketahui oleh Allah saja, misalnya tentang takdir seseorang. Sebagaimana disebut dalam Alquran Surat al-An’am: 59:
وعنده مفاتح الغيب لا يعلمها إلا هو
Allah memiliki kunci-kunci sesuatu yang gaib yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Dia saja.
وعنده مفاتح الغيب لا يعلمها إلا هو
Allah memiliki kunci-kunci sesuatu yang gaib yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Dia saja.
Apa buktinya bahwa jin tidak mengetahui sesuatu yang gaib? Buktinya adalah meninggalnya Nabi Sulaiman. Disebutkan dalam Alquran surat Saba’: 14:
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ
Tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ
Tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.
Di sini memberikan gambaran yang jelas bahwa jin tidak tahu hal-hal gaib. Mereka hanya mampu mengetahui apa-apa yang tertangkap oleh indera mereka saja.
Seorang mufassir; Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa jin tidak tahu kematian Nabi Sulaiman bahkan sampai sekitar satu tahun lamanya. Baru tahu ketika tongkat yang dibuat sandaran Nabi Sulaiman itu roboh dan rusak dimakan rayap. Sampai Nabi Sulaiman juga ikut roboh (lihat: Ibnu Katsir (w. 774 H), Tafsir Ibnu Katsir, hal. 6/ 503). Maka jika ada seorang yang bisa mengetahui sesuatu hal gaib atas pemberitahuan jin, janganlah percaya. Bahkan jika dia bertitel ustaz atau kiai sekalipun.
Wallahu a'lam bishshsawab.
Ahmad Sarwat, Lc.
Tanya Ustaz merupakan rubrik khusus di Semarak Ramadan. Tanyakan dan/atau konsultasikan hal-hal menyangkut Islam pada halaman Tanya Ustaz untuk dijawab oleh Ahmad Sarwat.
Ahmad Sarwat adalah pendiri Rumah Fiqih Indonesia yang juga dikenal sebagai penyusun buku "Seri Fiqih Kehidupan", "Seri Tanya Jawab Syariah", dan "Ensiklopedia Fiqih Indonesia". Saat ini Ahmad Sarwat juga masih menulis di website Rumah Fiqih Indonesia dan website pribadinya, www.ustsarwat.com.
Ahmad Sarwat adalah pendiri Rumah Fiqih Indonesia yang juga dikenal sebagai penyusun buku "Seri Fiqih Kehidupan", "Seri Tanya Jawab Syariah", dan "Ensiklopedia Fiqih Indonesia". Saat ini Ahmad Sarwat juga masih menulis di website Rumah Fiqih Indonesia dan website pribadinya, www.ustsarwat.com.
0 komentar:
Posting Komentar