JUM’AT DAN SHALAT JUM’AT
Oleh : Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Hari Jum’at merupakan hari yang penting bagi kaum muslimin. Hari yang memiliki kekhususan dan keistimewaan yang tidak dimiliki hari-hari lain. Allah memerintahkan kaum muslimin untuk berkumpul pada hari itu untuk menunaikan ibadah shalat di masjid tempat berkumpulnya penduduk. Disana kaum muslimin saling berkumpul dan bersatu, sehingga dapat terbentuk ikatan kecintaan, persaudaraan dan persatuan.
Prof. Dr. Shalih bin
Ghanim As Sadlan berkata,”Hari Jum’at merupakan hari terbaik dan termulia, yang
Allah khusukan untuk umat Islam. Pada hari itu Allah mensyari’atkan kaum
muslimin untuk berkumpul. Diantara hikmahnya, yaitu menjadi sarana perkenalan,
persatuan, saling mencintai dan kerjasama diantara mereka. Jadilah hari Jum’at
sebagai hari raya pekanan dan menjadi hari terbaik.” [1]
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin berkata,”Jum’at -dengan didhammahkan huruf jim-nya dan
disukunkan huruf mim-nya- berasal dari kata al jam’u. Dinamakan demikian,
karena Allah telah mengumpulkan beberapa perkara kauniyah dan syar’iyah yang
tidak ada dihari lainnya. Terdapat padanya penyempurnaan penciptaan langit dan
bumi, penciptaan Adam dan terjadinya hari kiamat dan kebangkitan manusia. Juga
pada hari itu manusiapun berkumpul.”[2]
Demikianlah Rasulullah
khabarkan dalam hadits-hadits Beliau, diantaranya:
خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ
“Sebaik-baiknya hari
yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan,
masuk dan keluar dari syurga dan hari kiamat hanya akan terjadi pada hari
Jum’at.” [3]
Pada hari Jum’at, Allah
mensyari’atkan shalat Jum’at, sebagaimana dinyatakan dalam firmanNya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [Al Jum’ah:9].
HUKUM SHALAT JUM’AT
Hukum shalat Jum’at adalah wajib dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah:
Hukum shalat Jum’at adalah wajib dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [Al Jum’ah:9]
Dalam ayat ini Allah memerintahkan
untuk menunaikannya, padahal perintah -dalam istilah ushul fiqh- menunjukkan
kewajiban. Demikian juga larangan sibuk berjual beli setelah ada panggilan
shalat, menunjukkan kewajibannya; sebab seandainya bukan karena wajib, tentu
hal itu tidak dilarang.
Sedangkan dalil dari
Sunnah, ialah sabda Rasulullah:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
“Hendaklah satu kaum
berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at, atau kalau tidak, maka Allah akan
mencap hati-hati mereka, kemudian menjadikannya termasuk orang yang lalai.” [4]
Hal ini dikuatkan lagi
dengan kesepakatan (Ijma’) kaum muslimin atas kewajibannya, sebagaimana hal itu
dinukil para ulama, diantaranya: Ibnu Al Mundzir [5], Ibnu Qudamah[6] dan Ibnu
Taimiyah.[7]
SIAPAKAH YANG DIWAJIBKAN SHALAT JUM’AT
Syaikh Al Albani berkata,”Shalat Jum’at wajib atas setiap mukallaf, wajib atas setiap orang yang baligh, berdasarkan dalil-dalil tegas yang menunjukkan shalat Jum’at wajib atas setiap mukallaf dan dengan ancaman keras bagi meninggalkannya.” [8]
Syaikh Al Albani berkata,”Shalat Jum’at wajib atas setiap mukallaf, wajib atas setiap orang yang baligh, berdasarkan dalil-dalil tegas yang menunjukkan shalat Jum’at wajib atas setiap mukallaf dan dengan ancaman keras bagi meninggalkannya.” [8]
Shalat Jum’at diwajibkan
kepada setiap muslim, kecuali yang memiliki udzur syar’i, seperti: budak
belian, wanita, anak-anak, orang sakit dan musafir, berdasarkan hadits Thariq
bin Syihab dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda.
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jum’at wajib
bagi setiap muslim dalam berjama’ah, kecuali empat: hamba sahaya, wanita,
anak-anak atau orang sakit” [9].
Sedangkan tentang hukum
musafir, para ulama masih berselisih sebagai orang yang tidak diwajibkan shalat
Jum’at, dalam dua pendapat, yaitu:
Pertama : Musafir tidak
diwajibkan shalat Jum’at.
Demikian ini pendapat
jumhur Ulama [10], dengan dasar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam seluruh safarnya tidak pernah melakukan shalat jum’at, padahal bersamanya
sejumlah sahabat Beliau. Hal ini dikuatkan dengan kisah haji wada’, sebagaimana
disampaikan oleh Jabir bin Abdillah dalam hadits yang panjang.
فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ ……ثُمَّ أَذَّنَ بِلا َلٌ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
“Lalu beliau mendatangi
Wadi dan berkhutbah…Kemudian Bilal beradzan, kemudian iqamah dan shalat Dhuhur,
kemudian iqamah dan shalat Ashar, dan tidak shalat sunnah diantara keduanya…
[11]
Kedua : Musafir wajib
melakukan shalat Jum’at.
Demikian ini pendapat
madzhab Dzahiriyah, Az Zuhri dan An Nakha’i. Mereka berdalil dengan keumuman
ayat dan hadits yang mewajibkan shalat Jum’at dan menyatakan, tidak ada satupun
dalil shahih yang mengkhususkannya hanya untuk muqim.[12]
Mana Yang Lebih Kuat
Dari kedua pendapat
tersebut, maka yang rajih adalah pendapat pertama, dikarenakan kekuatan dalil
yang ada. Pendapat inilah yang dirajihkan Ibnu Taimiyah, sehingga setelah
menyampaikan perselisihan para ulama tentang kewajiban shalat Jum’at dan ‘Id
bagi musafir, ia berkata,”Yang jelas benar adalah pendapat pertama. Bahwa hal
tersebut tidak disyari’atkan bagi musafir, karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bepergian dalam banyak safar, telah berumrah tiga kali
selain umrah ketika hajinya dan berhaji haji wada’ bersama ribuan orang, serta
telah berperang lebih dari dua puluh peperangan, namun belum ada seorangpun
yang menukilkan bahwa Beliau melakukan shalat Jum’at, dan tidak pula shalat ‘Id
dalam safar tersebut; bahkan Beliau shalat dua raka’at saja dalam seluruh
perjalanan (safar)nya.”[13] Demikian juga, pendapat ini dirajihkan Ibnu
Qudamah[14] dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.[15]
Demikian juga orang yang
memiliki udzur yang dibenarkan syar’i, termasuk orang yang tidak diwajibkan
menghadiri shalat Jum’at.[16]
Orang yang mendapat
udzur, tidak wajib shalat Jum’at, tetapi wajib menunaikan shalat Dhuhur, bila
termasuk mukallaf. Karena asal perintah hari Jum’at adalah shalat Dhuhur,
kemudian disyari’atkan shalat Jum’at kepada setiap muslim yang mukallaf dan
tidak memiliki udzur, sehingga mereka yang tidak diwajibkan shalat Jum’at masih
memiliki kewajiban shalat Dhuhur.
WAKTU SHALAT JUM’AT
Waktu shalat Jum’at dimulai dari tergelincir matahari sampai akhir waktu shalat Dhuhur. Inilah waktu yang disepakati para ulama, sedangkan bila dilakukan sebelum tergelincir matahari, maka para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Waktu shalat Jum’at dimulai dari tergelincir matahari sampai akhir waktu shalat Dhuhur. Inilah waktu yang disepakati para ulama, sedangkan bila dilakukan sebelum tergelincir matahari, maka para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Pertama : Tidak sah. Demikian
pendapat jumhur Ulama dengan argumen sebagai berikut:
– Hadits Anas bin Malik,
ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِينَ تَمِيلُ الشَّمْسُ
” Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Jum’at ketika matahari condong
(tergelincir).” [18]
– Hadits Samahin Al
Aqwa’, ia berkata:
كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ
“Kami shalat Jum’at
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tergelincir matahari, kemudian
kami pulang mencari bayangan (untuk berlindung dari panas).” [19]
Inilah yang dikenal dari
para salaf, sebagaimana dinyatakan Imam Asy Syafi’i : “Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , Abu Bakar, Umar, Utsman dan para imam setelah mereka, shalat setiap
Jum’at setelah tergelincir matahari”.[20]
Kedua : Sah, shalat
Jum’at sebelum tergelincir matahari. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Ishaq,
dengan argumen sebagai berikut:
– Hadits saamah in Al Aqwa’,
ia berkata:
كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ
“Kami shalat Jum’at
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tergelincir matahari, kemudian
kami pulang mencari bayangan (untuk berlindung dari panas).” [22]
– Hadits Sahl bin Sa’ad,
ia berkata:
مَا كُنَّا نَقِيلُ وَلَا نَتَغَدَّى إِلَّا بَعْدَ الْجُمُعَةِ
“Kami tidak tidur dan
makan siang, kecuali setelah Jum’at.” [23
Dan dalam riwayat Muslim
terdapat tambahan lafadz : فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Pendapat ini menyatakan,
bahwa makan dan tidur siang dalam adat bangsa Arab dahulu, dilakukan sebelum
tergelincir matahari, sebagaimana dinyatakan Ibnu Qutaibah [24]. Demikian juga
Rasulullah berkhutbah dua khutbah, kemudian diriwayatkan membaca surat Qaf,
atau dalam riwayat lain surat Al Furqan, atau dalam riwayat lain surat Al
Jumu’ah dan Al Munafiqun. Seandainya Beliau hanya shalat Jum’at setelah
tergelincir matahari, maka ketika selesai, orang akan mendapatkan bayangan
benda untuk bernaung dari panas matahari dan telah keluar dari waktu makan dan
tidur siang. [25]
– Hadits Jabir bin
Abdillah ketika ia ditanya:
مَتَى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ قَالَ كَانَ يُصَلِّي ثُمَّ نَذْهَبُ إِلَى جِمَالِنَا فَنُرِيحُهَا حِينَ تَزُولُ الشَّمْسُ
“Kapan Rasulullah shalat
Jum’at, ia menjawab,”Beliau shalat Jum’at, kemudian kami kembali ke onta-onta
kami, lalu menungganginya ketika matahari tergelincir.[26]
Syaikh Al Albani
berkata,”Ini jelas menunjukkan, bahwa shalat Jum’at dilakukan sebelum
tergelincir matahari.”[27]
Demikianlah secara
singkat uraian pendapat para ulama, dan yang rajih adalah pendapat kedua, yaitu
waktu shalat Jum’at adalah waktu Dhuhur, dan sah bila dilakukan sebelum
tergelincir matahari, sebagaimana dirajihkan Imam Asy Syaukani [28] dan Syaikh
Al Albani.[29]
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
________
Footnote
[1]. Taisir Al Fiqh, karya Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan, Cetakan Kedua, Tahun 1417-1997 H, Riyadh, hlm. 53.
[2]. Tambih Al Afham Bi Syarhi Umdah Al Ahkam, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Penerbit, Departemen Pendidikan Saudi Arabia, Tanpa tahun dan cetakan.
[3]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Fadhlu Yaum Al Jum’ah, no.1411.
[4]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab At Taghlith Fi Tarki Al Jum’ah, no.1422.
[5]. Dinukil Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarhu Al Muhadzab, karya Imam Nawawi, Tahqiq, Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan Tahun 1415 H, Dar Ihya At Turats Al Arabi, 4/349.
[6]. Al Mugni, karya Ibnu Qudamah, Tahqiq, Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki dan Abdul Fatah Muhammad Al Halwu, Cetakan Kedua, Tahun 1412 H, Penerbit Hajar, Kairo, Mesir. 3/159.
[7]. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 11/615.
[8]. Al Ajwibah An Nafi’ah ‘An Asilat Lajnah Masjid Al Jami’ah, karya Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan Kedua, Tahun 1400 H, Al Maktab Al Islami, Bairut, hlm. 42-43.
[9]. Lihat kelengkapannya dalam rubrik Hadits
[10]. Bidayat Al Mujtahid Wan Nihayah Al Muqtashid, karya Ibnu Rusyd Al Qurthubi, Cetakan Kesepuluh, Tahun 1408 H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, hlm. 1/157.
[11]. Potongan hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Hajj, Bab Hajat An Nabi, no. 2137.
[12]. Lihat Majmu’ Fatawa, op.cit, 23/178.
[13]. Majmu’ Fatawa, op.cit, 23/178.
[14]. Al Mughni, op.cit, 3/216-217.
[15]. Asy Syarhu Al Mumti’, op.cit, 5/12.
[16]. Al Muhalla, karya Ibnu Hazm Al Andalusi, Tahqiq, Ahmad Muhammad Syakir, Tanpa tahun, Dar Al Turats, Kairo, Mesir, hlm. 5/55 dan Raudhah An Nadiyah, karya Muhammad Shidiq Hasan Khan, Tahqiq, Muhammad Subhi Hasan Khalaf, Cetakan Keempat 1416 H, Maktabah Al Kautsar, Riyadh, KSA, hlm.1/341.
[17]. Lihat Al Mughni, op.cit 3/160.
[18]. HR Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Jumu’ah, Bab Waktu Jum’ah Idza Zalat Asy Syamsu, no. 853.
[19]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1323.
[20]. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/380.
[21]. Lihat Subulus Salam Syarhu Bulughul Maram, karya Imam Ash Shan’ani, Tahqiq Muhammad Abdulqadir ‘Atho, Tanpa tahun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut, 2/98.
[22]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1323.
[23]. HR Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Firman Allah Surah Jumu’ah Ayat 9, dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1422.
[24]. Lihat Nailul Authar Syarh Muntaqa Al Akhbar Min Ahadits Saiyidi Al Akhyar, karya Imam Asy Syaukani, Cetakan Pertama, Tahun 1415, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, hlm. 3/275.
[25]. Ibid.
[26]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1421.
[27]. Al Ajwiba An Nafi’ah, op.cit 22.
[28]. Nailul Authar, op.cit 3/275.
[29]. Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit 22
________
Footnote
[1]. Taisir Al Fiqh, karya Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan, Cetakan Kedua, Tahun 1417-1997 H, Riyadh, hlm. 53.
[2]. Tambih Al Afham Bi Syarhi Umdah Al Ahkam, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Penerbit, Departemen Pendidikan Saudi Arabia, Tanpa tahun dan cetakan.
[3]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Fadhlu Yaum Al Jum’ah, no.1411.
[4]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab At Taghlith Fi Tarki Al Jum’ah, no.1422.
[5]. Dinukil Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarhu Al Muhadzab, karya Imam Nawawi, Tahqiq, Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan Tahun 1415 H, Dar Ihya At Turats Al Arabi, 4/349.
[6]. Al Mugni, karya Ibnu Qudamah, Tahqiq, Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki dan Abdul Fatah Muhammad Al Halwu, Cetakan Kedua, Tahun 1412 H, Penerbit Hajar, Kairo, Mesir. 3/159.
[7]. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 11/615.
[8]. Al Ajwibah An Nafi’ah ‘An Asilat Lajnah Masjid Al Jami’ah, karya Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan Kedua, Tahun 1400 H, Al Maktab Al Islami, Bairut, hlm. 42-43.
[9]. Lihat kelengkapannya dalam rubrik Hadits
[10]. Bidayat Al Mujtahid Wan Nihayah Al Muqtashid, karya Ibnu Rusyd Al Qurthubi, Cetakan Kesepuluh, Tahun 1408 H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, hlm. 1/157.
[11]. Potongan hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Hajj, Bab Hajat An Nabi, no. 2137.
[12]. Lihat Majmu’ Fatawa, op.cit, 23/178.
[13]. Majmu’ Fatawa, op.cit, 23/178.
[14]. Al Mughni, op.cit, 3/216-217.
[15]. Asy Syarhu Al Mumti’, op.cit, 5/12.
[16]. Al Muhalla, karya Ibnu Hazm Al Andalusi, Tahqiq, Ahmad Muhammad Syakir, Tanpa tahun, Dar Al Turats, Kairo, Mesir, hlm. 5/55 dan Raudhah An Nadiyah, karya Muhammad Shidiq Hasan Khan, Tahqiq, Muhammad Subhi Hasan Khalaf, Cetakan Keempat 1416 H, Maktabah Al Kautsar, Riyadh, KSA, hlm.1/341.
[17]. Lihat Al Mughni, op.cit 3/160.
[18]. HR Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Jumu’ah, Bab Waktu Jum’ah Idza Zalat Asy Syamsu, no. 853.
[19]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1323.
[20]. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/380.
[21]. Lihat Subulus Salam Syarhu Bulughul Maram, karya Imam Ash Shan’ani, Tahqiq Muhammad Abdulqadir ‘Atho, Tanpa tahun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut, 2/98.
[22]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1323.
[23]. HR Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Firman Allah Surah Jumu’ah Ayat 9, dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1422.
[24]. Lihat Nailul Authar Syarh Muntaqa Al Akhbar Min Ahadits Saiyidi Al Akhyar, karya Imam Asy Syaukani, Cetakan Pertama, Tahun 1415, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, hlm. 3/275.
[25]. Ibid.
[26]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1421.
[27]. Al Ajwiba An Nafi’ah, op.cit 22.
[28]. Nailul Authar, op.cit 3/275.
[29]. Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit 22
Sumber: https://almanhaj.or.id/2616-jumat-hukum-dan-waktu-shalat-jumat-siapakah-yang-diwajibkan-shalat-jumat.html
0 komentar:
Posting Komentar