Asuransi dilihat dari Sudut
Pandang Islam
Umat muslim di Indonesia saat ini juga sudah banyak yang terlibat dalam urusan asuransi, oleh karena itu sangat perlu ditinjau dari sudut pandang agama Islam dengan lebih detail. Bagi umat muslim sendiri ada yang beranggapan jika asuransi bukanlah suatu kegiatan yang Islami, sehingga seseorang yang terlibat dengan asuransi, sama halnya dengan mengingkari rahmat Allah SWT.”
Allah sudah menentukan rezeki untuk setiap makhluknya seperti yang sudah
difirmankan Allah SWT, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi
mealinkan Allah-lah yg memberi rezekinya”. “dan siapa yg memberikan rezeki
kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan ??” “Dan kami
telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup dan makhluk-makhluk yg
kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.”
Dari tiga ayat tersebut bisa diartikan jika Allah SWT memang sudah
menyiapkan segala sesuatu untuk semua urusan dan kebutuhan makhluk hidup
seperti pada manusia sebagai khalifah di muka bumi dan Allah menyiapkan barang
dalam bentuk mentah dan bukan dalam wujud matang. Ini membuat manusia harus
mengolahnya terlebih dulu dan mencari ikhtiarnya. Sementara orang yang terlibat
dengan asuransi merupakan salah satu ikhtiar untuk menghadapi masa depan dan
juga masa tuanya
Akan tetapi, karena urusan asuransi tidak dijelaskan secara lugas dalam nash, maka permasalahan ini masih dipandang sebagai ijtihadi, yakni masalah tentang perbedaan pendapat yang masih agak sulit dijindari dan juga tetap harus menghargai perbedaan tersebut.
Pendapat
Larangan Asuransi Dalam Islam
Asuransi merupakan hal haram apapun wujudnya termasuk asuransi jiwa.
Pendapat tersebut telah dikemukakan oleh Sayyid Sabiq Abdullah al-Qalqii Yusuf
Qardhawi dan juga Muhammad Bakhil al-Muth’i. Sementara beberapa alasan mengapa
asuransi dikatakan haram adalah sebagai berikut:
·
Asuransi terkandung unsur yang belum pasti.
·
Asuransi sama dengan judi: Seperti yang kita ketahui,
judi memiliki unsur taruhan dan sama halnya dengan premi yang ditanam sehingga
sama dengan judi.
·
Asuransi terkandung unsur riba atau renten: Asuransi
juga mengandung unsur ruba fadhel atau riba perniagaan sebab adanya sesuatu
yang terlalu berlebihan dan juga riba nasi’ah atau riba karena penundaan secara
bersamaan.
·
Asuransi mengandung unsur pemerasan sebab apabila
pemegang pois tidak dapat melanjutkan pembayaran, maka pembayaran premi yang
sudah dibayarkan akan hilang atau dikurangi.
·
Premi yang sudah dibayarkan akan diputar kembali dalam
praktek riba.
·
Hidup dan mati manusia dijadikan sebagai bisnis dan
ini sama halnya dengan mendahului takdir Allah SWT.
Terdapat bentuk memakan harta yang batil: Dalam
asuransi juga mengandung bentuk memakan harta orang lain yang dilakukan dengan
jalan kebhatilan dan pihak asuransi mengambil harta akan tetapi tidak selalu
memberikan timbal balik. Padahal, di dalam akad mu’awadhot atau yang terdapat
di dalam syarat keuntungan haruslah memiliki timbal balik dan jika tidak, maka
masuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu” (QS. An
Nisa’: 29). Tentu setiap orang tidak ridho jika telah memberikan uang, namun
tidak mendapatkan timbal balik atau keuntungan.
Selain itu, juga terdapat sisi ghoror lainnya dari sisi besaran yang
dikatakan sebagai timbal balik yang bisa diperoleh dan besarnya sendiri tidak
diketahui dengan pasti. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudah melarang
jual beli yang memiliki kandungan ghoror atau spekulasi tinggi seperti yang ada
dalam hadits Abu Hurairah, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan
melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR.
Muslim no. 1513).
Berbagai Alasan Terlarangnya Asuransi
Berbagai
jenis asuransi asalnya haram baik asuransi jiwa, asuransi barang, asuransi
dagang, asuransi mobil, dan asuransi kecelakaan. Secara ringkas, asuransi
menjadi bermasalah karena di dalamnya terdapat riba, qimar (unsur judi),
dan ghoror (ketidak jelasan atau spekulasi tinggi).
Berikut adalah
rincian mengapa asuransi menjadi terlarang:
1. Akad
yang terjadi dalam asuransi adalah akad untuk mencari keuntungan (mu’awadhot).
Jika kita tinjau lebih mendalam, akad asuransi sendiri mengandung ghoror
(unsur ketidak jelasan). Ketidak jelasan pertama dari kapan waktu nasahab akan
menerima timbal balik berupa klaim. Tidak setiap orang yang menjadi nasabah
bisa mendapatkan klaim. Ketika ia mendapatkan accident atau resiko, baru ia
bisa meminta klaim. Padahal accident di sini bersifat tak tentu, tidak ada yang
bisa mengetahuinya. Boleh jadi seseorang mendapatkan accident setiap tahunnya,
boleh jadi selama bertahun-tahun ia tidak mendapatkan accident. Ini sisi ghoror
pada waktu.
Sisi
ghoror lainnya adalah dari sisi besaran klaim sebagai timbal balik yang akan
diperoleh. Tidak diketahui pula besaran klaim tersebut. Padahal Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau
spekulasi tinggi sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ
بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan
kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung
unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).
2. Dari sisi lain, asuransi mengandung qimar atau
unsur judi. Bisa saja nasabah tidak mendapatkan accident atau bisa pula terjadi
sekali, dan seterusnya. Di sini berarti ada spekulasi yang besar. Pihak pemberi
asuransi bisa jadi untung karena tidak mengeluarkan ganti rugi apa-apa. Suatu
waktu pihak asuransi bisa rugi besar karena banyak yang mendapatkan musibah
atau accident. Dari sisi nasabah sendiri, ia bisa jadi tidak mendapatkan klaim
apa-apa karena tidak pernah sekali pun mengalami accident atau mendapatkan
resiko. Bahkan ada nasabah yang baru membayar premi beberapa kali, namun ia
berhak mendapatkan klaimnya secara utuh, atau sebaliknya. Inilah judi yang
mengandung spekulasi tinggi. Padahal Allah jelas-jelas telah melarang judi
berdasarkan keumuman ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi),
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90). Di antara bentuk maysir adalah
judi.
3. Asuransi mengandung unsur riba fadhel (riba
perniagaan karena adanya sesuatu yang berlebih) dan riba nasi’ah
(riba karena penundaan) secara bersamaan. Bila perusahaan asuransi membayar ke
nasabahnya atau ke ahli warisnya uang klaim yang disepakati, dalam jumlah lebih
besar dari nominal premi yang ia terima, maka itu adalah riba fadhel.
Adapun bila perusahaan membayar klaim sebesar premi yang ia terima namun
ada penundaan, maka itu adalah riba nasi’ah (penundaan). Dalam hal ini
nasabah seolah-olah memberi pinjaman pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua
riba tersebut haram menurut dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama).
4.
Asuransi termasuk bentuk judi dengan taruhan yang terlarang. Judi kita
ketahui terdapat taruhan, maka ini sama halnya dengan premi yang ditanam. Premi
di sini sama dengan taruhan dalam judi. Namun yang mendapatkan klaim atau
timbal balik tidak setiap orang, ada yang mendapatkan, ada yang tidak sama
sekali. Bentuk seperti ini diharamkan karena bentuk judi yang terdapat taruhan
hanya dibolehkan pada tiga permainan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ
“Tidak
ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan
pacuan kuda” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574,
Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Para ulama
memisalkan tiga permainan di atas dengan segala hal yang menolong dalam
perjuangan Islam, seperti lomba untuk menghafal Al Qur’an dan lomba menghafal
hadits. Sedangkan asuransi tidak termasuk dalam hal ini.
5. Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain
dengan jalan yang batil. Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu
memberikan timbal balik. Padahal dalam akad mu’awadhot (yang ada
syarat mendapatkan keuntungan) harus ada timbal balik. Jika tidak, maka
termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di
antara kamu” (QS. An Nisa’: 29). Tentu setiap orang tidak ridho jika telah
memberikan uang, namun tidak mendapatkan timbal balik atau keuntungan.
6. Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada sebab
yang syar’i. Seakan-akan nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah
mengklaim pada pihak asuransi untuk memberikan ganti rugi padahal penyebab
accident bukan dari mereka. Pemaksaan seperti ini jelas haramnya.
[Dikembangkan
dari penjelasan Majlis Majma Fikhi di Makkah Al Mukarromah, KSA]
“Masa Depan Selalu Suram” Ganti dengan “Tawakkal”
Dalam
rangka promosi, yang ditanam di benak kita oleh pihak asuransi adalah masa
depan yang selalu suram. “Engkau bisa saja mendapatkan kecelakaan”, “Pendidikan
anak bisa saja membengkak dan kita tidak ada persiapan”, “Kita bisa saja
butuh pengobatan yang tiba-tiba dengan biaya yang besar”. Itu slogan-slogan
demi menarik kita untuk menjadi nasabah di perusahaan asuransi. Tidak ada
ajaran bertawakkal dengan benar. Padahal tawakkal adalah jalan keluar
sebenarnya dari segala kesulitan dan kekhawatiran masa depan yang suram. Karena
Allah Ta’ala sendiri yang menjanjikan,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ
لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”
(QS. Ath Tholaq: 2-3).
Pendapat Diprbolehkan Asuransi
Dalam Islam
Sementara untuk pendapat kedua, praktek asuransi diperbolehkan dan
dikemukakan oleh Abd. WWahab Khalaf Mustafa Akhmad Zarqa Muhammad Yusuf Musa
dan juga Abd. Rakhman isa. Sementara alasan diperbolehkannya asuransi adalah
sebagai berikut:
·
Terjadi kesepakatan dan kerelaan dari kedua belah
pihak.
·
Tidak terdapat nash yang melarang praktek asuransi.
·
Asuransi termasuk ke dalam akda mudhrabah.
·
Memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
·
Asuransi bisa digunakan untuk kepentingan umum karena
premi yang sudah terkumpul bisa diinvestasian sebagai proyek produktif dan juga
pembangunan.
·
Asuransi termasuk ke dalam jenis koperasi.
·
Asuransi dianalogikan dengan sistem pensiun seperti
pada taspen.
Pendapat Makruh tentang Asuransi Dalam Islam
Sementara untuk pendapat yang ketiga, asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan, sedangkan yang bersifat komersil diharamkan. Pendapat ketiga ini dikemukakan oleh Muhammad Abdu Zahrah yakni dengan alasan serupa dengan pendapat yang pertama untuk asuransi bersifat komersil dan sama pendapatnya untuk pendapat kedua dalam asuransi yang bersifat sosial.
Alasan dari golongan yang mengungkapkan asuransi syubhat sebab tidak terdapat dalil tegas yang mengharamkan atau tidak mengharamkan asuransi tersebut. Dari beberapa ulasan diatas bisa dipahami jika urusan tentang asuransi masih menimbulkan keraguan sehingga agak sulit untuk menentukan pilihan mana yang paling mendekati dengan hukum yang benar.
Jenis Asuransi Berdasarkan Syariah
Sebagai alternatif baru yang ditawarkan, sekarang ini juga terdapat asuransi yang sesuai dengan ketentuan Islam dan dalam urusan ini, hedaknya tetap berpegang pada sabda Nabi Muhammad SAW, “Tinggalkan hal-hal yg meragukan kamu kepada hal-hal yang tidak meragukan kamu.”
Asuransi menurut ajaran Islam yang sudah mulai dilaksanakan dan digalakkan seperti yang sudah dilakukan beberapa asuransi Indonesia yang menganut sistem berbeda yakni memakai sistem mudharabah. Sementara dalam asuransi takaful berdasarkan syariah terdiri dari beberapa jenis, diantaranya:
1.
Takaful Kebakaran
Asuransi takaful kebakaran memberikan perlindungan pada harta benda seperti kantor, toko, industri, kerugian karena kebakaran, jatuhnya pesawat terbang, ledakan gas, tersambar petir, pabrik dan sebagainya.
2.
Takaful Pengangkutan Barang
Asuransi dalam bentuk ini akan memberikan perlindungan untuk kerugian harta benda dalam pengiriman barang dan dalam pengiriman tersebut terjadi kecelakaan atau musibah.
3.
Takaful keluarga
Asuransi takaful keluarga meliputi takaful berencana pembiayaan jangka panjang seperti pendidikan, kesehatan, umroh, wisata dan takaful perjalanan haji. Dana yang sudah terkumpul dari peserta asuransi ini nantinya akan diinvestasikan sesuai dengan prinsip syariah. Setelah itu, hasil yang didapat dari cara mudharabah akan dibagi untuk seluruh peserta dan juga untuk perusahaan.
Riba Dalam Asuransi Konvensional
Riba di dalam asuransi konvensional bisa terjadi karena dana yang diinvestasikan, sedangkan untuk masalah riba juga dipermasalahkan oleh para alim ulama. Ada sebagian ulama yang mengharamkan dan ada sebagian ulama yang memperbolehkan sementara ada juga yang berpendapat syubhat. Sedangkan jalan yang dilakukan asuranasi takaful adalah dengan cara mudhrabah sehingga tidak ada riba di dalam asuransi takaful tersebut.
Supaya asuransi takaful dengan landasan syariah Islam bisa berjalan dengan baik di masyarakat, maka asuransi takaful juga perlu lebih dimasyarakatkan dan dilaksanakan dengan baik supaya akhirnya bisa memperoleh kepercayaan masyarakat. Masyarakat sendiri juga menginginkan bukti yang nyata tentang sebuah gagasan, supaya nantinya bisa mendapatkan jaminan ketenangan selama hidup dan juga ada yang menginginkan jaminan untuk anak beserta keturunan selepas meninggal dunia.
Jika asuransi takaful dengan landasan syariah Islami bisa mewujudkan dengan nyata keperluan masyarakat, maka akan membuat orang yang senang dengan hal syubhat dan berhadapan dengan hukum, akan bertolak belakang dan akan berkurang.
Dari uraian diatas bisa ditarik kesimpulan tentang haram dan tidaknya asuransi. Namun sebagai umat muslim yang baik, alangkah lebih baik untuk lebih cermat sehingga tidak tertipu dengan penambahan syar’i saja dan harus diselidiki terlebih dahulu apakah memang benar atau hanya sekedar penambahan kata saja. Akan lebih baik juga untuk tidak mengajukan premi sebab kalim yang didapat juga belum bisa dipastikan kehalalannya dan juga tidak boleh dimanfaatkan kecuali dalam keadaan terpaksa dan sudah terikat kontrak kerja, maka hanya boleh memanfaatkan premi yang sudah disetorkan seperti asuransi kesehatan dan tidak boleh melebihi dari hal tersebut.
Apabila anda sudah terlanjur berkecimpung dalam asuransi, maka berusahalah lebih keras untuk meninggalkannya dan perbanyak istighfar serta taubat dan juga amalan kebaikan. Akan lebih baik lagi jika uang yang sudah ditanamkan ditarik kembali.
Dikutip : https://dalamislam.com/hukum-islam/asuransi-dalam-islam
0 komentar:
Posting Komentar