Oleh : Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan shalat-shalat sunnah untuk menyempurnakan ibadah shalat wajib yang terkadang tidak dapat sempurna pahalanya. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ
وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ
فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ
تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ
سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab
dari seorang hamba ialah shalatnya. Apabila baik, maka ia telah beruntung dan
selamat; dan bila rusak, maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang
sedikit dari shalat wajibnya , maka Rabb Azza wa Jalla berfirman, “Lihatlah,
apakah hamba-Ku memiliki shalat tathawwu’ (shalat Sunnah),” lalu
disempurnakanlah dengannya yang kurang dari shalat wajibnya tersebut, kemudian
seluruh amalannya diberlakukan demikian. [HR at-Tirmidzi]. Dan di antara yang
disyariatkan ialah shalat Dhuha.
KEUTAMAAN SHALAT DHUHA
1. Mencukupkan sedekah sebanyak persendian manusia, yaitu 360 persendian, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:
1. Mencukupkan sedekah sebanyak persendian manusia, yaitu 360 persendian, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ
صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ
تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ
صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ
يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى. (أخرجه مسلم).
Dari Abu Dzar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau telah bersabda: “Di setiap pagi, ada kewajiban sedekah atas
setiap persendian dari salah seorang kalian. Setiap tasbiih adalah sedekah,
setiap tahmiid adalah sedekah, setiap tahliil adalah sedekah, setiap takbiir
adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar adalah sedekah. Dan dapat memadai
untuk semua itu, dua rakaat yang dilakukan pada waktu Dhuha”.[1]
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
:
فِي الْإِنْسَانِ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَسِتُّونَ
مَفْصِلًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهُ بِصَدَقَةٍ
قَالُوا وَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ النُّخَاعَةُ فِي
الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا وَالشَّيْءُ تُنَحِّيهِ عَنْ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ
تَجِدْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُكَ
“Dalam diri manusia ada 360 persendian, lalu
diwajibkan sedekah dari setiap sendinya,” mereka bertanya,”Siapa yang mampu
demikian, wahai Nabi Allah?” Beliau menjawab,”Memendam riak yang ada di masjid
dan menghilangkan sesuatu (gangguan) dari jalanan. Apabila tidak mendapatkannya,
maka dua raka’at shalat Dhuha mencukupkanmu.” [2]
2. Allah Subhanahu wa Ta’alamenjaga orang yang
shalat Dhuha empat rakaat pada hari tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam
hadits:
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَوْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ
رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ آخِرَهُ أخرجه الترمذي. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ غَرِيبٌ
Dari Abu Dardaa’ atau Abu Dzar, dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari Allah Subhanahu wa Ta’alabahwa Allah
berfirman: “Wahai Bani Adam, shalatlah untuk-Ku pada awal siang hari empat
rakaat, niscaya Aku menjagamu sisa hari tersebut”.[3]
3. Shalat Dhuha merupakan shalat al-awwâbîn.
Yaitu orang yang banyak bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana
disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ
أَوَّابٌ قَالَ وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ. (أخرجه الحاكم).
Tidaklah menjaga shalat Dhuha kecuali orang yang
banyak bertaubat kepada Allah.[4]
HUKUM SHALAT DHUHA[5]
Para ulama berselisih tentang hukum shalat Dhuha dalam beberapa pendapat sebagai berikut.
Para ulama berselisih tentang hukum shalat Dhuha dalam beberapa pendapat sebagai berikut.
1. Hukumnya sunnah
mutlak, dan disunnahkan melakukannya setiap hari.
Demikian ini madzhab mayoritas ulama, yang berargumentasi dengan beberapa dalil.
Demikian ini madzhab mayoritas ulama, yang berargumentasi dengan beberapa dalil.
a. Keumuman hadits-hadits tentang keutamaan
shalat Dhuha sebagaimana telah disebutkan terdahulu.
b. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang
berbunyi:
أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ
الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Kekasihku Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
berwasiat kepadaku dengan tiga hal: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat
Dhuha dan Witir sebelum tidur. [Muttafaqun ‘alaihi].
Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah menyatakan,
hadits ini menunjukkan bahwa shalat Dhuha adalah sunnah mutlak yang dilakukan
setiap hari.[6]
c. Hadits Mu’âdzah al-‘Adawiyah ketika bertanya
kepada ‘Âisyah dengan sebuah pertanyaan:
كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيدُ مَا
شَاءَ
“Dahulu, berapa rakaat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat Dhuha?” Beliau menjawab,”Empat rakaat, dan menambah
sesukanya”.[7]
2. Hukumnya sunnah, namun tidak dilakukan setiap
hari.
3. Hukumnya bukan sunnah, inilah pendapat Ibnu
‘Umar Radhiyallahu anhuma
4. Shalat Dhuha hanya disunnahkan karena faktor
tertentu.
Pendapat ini dirajihkan Ibnu Taimiyyah
rahimahullah dan Ibnul-Qayyim rahimahullah.
Menurut beliau (Ibnul-Qayyim), barang siapa yang
menelaah hadits-hadits marfu’ dan atsar sahabat, tentu akan menyimpulkannya
hanya mendukung pendapat ini. Adapun hadits-hadits yang berupa anjuran dan
wasiat untuk melakukannya, maka yang shahîh darinya, seperti hadits Abu
Hurairah dan Abu Dzar Radhiyallahu anhuma tidak menunjukkan jika shalat Dhuha
sebagai sunnah yang terus dikerjakan untuk setiap orang.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan
kepada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan wasiat itu, karena telah
diriwayatkan bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dahulu memilih belajar hadits
pada malam hari dari pada shalat, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan melakukannya pada waktu Dhuha sebagai ganti shalat malam. Oleh
karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk tidak
tidur kecuali setelah berwitir, dan tidak memerintahkan hal itu kepada Abu
Bakar, ‘Umar dan seluruh sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum.[8]
Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah, setelah
menjelaskan sunnahnya shalat Dhuha, beliau rahimahullah menyatakan, masalahnya
apakah yang lebih utama melakukannya secara terus-menerus ataukah tidak, karena
mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Demikian ini yang menjadi
perselisihan para ulama. Yang rajih dikatakan, barang siapa yang kontinyu
melakukan shalat malam, maka itu mencukupinya dari melakukan shalat Dhuha
terus-menerus, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu demikian.
Barang siapa yang tidak melakukan shalat malam, maka shalat Dhuha menjadi
pengganti shalat malam.[9]
Adapun yang rajih dari pendapat-penpat tersebut,
Insya Allah adalah pendapat pertama, karena keumuman anjuran melakukan shalat
Dhuha. Demikian pula yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau
menyatakan, yang rajih ialah sunnah mutlak yang terus-menerus dilakukan. Sebab Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ
صَدَقَةٌ
(Setiap hari wajib bersedekah bagi setiap
persendian dari salah seorang kalian).
Para ulama menjelaskan, bahwa pada tubuh manusia
terdapat 360 jumlah persendian, sehingga setiap orang harus bersedekah 360
sedekah setiap hari. Yang dimakusdkan dengan sedekah ini bukan berupa harta,
tetapi berupa amalan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
فَفِي كُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ
تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ
وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ
مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى
(Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid
adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah,
amar makruf nahi mungkar adalah sedekah. Mencukupkan dari itu semua dua rakaat
yang dilakukan di waktu Dhuha).
Berdasarkan hadits ini, maka kami berpendapat
bahwa hukum shalat Dhuha ialah sunnah yang selalu dikerjakan, karena kebanyakan
manusia tidak mampu memberikan sedekah hingga 360 sedekah.[10] Wallahu a’lam.
WAKTU PELAKSANAAN SHALAT
DHUHA
Waktu shalat Dhuha dimulai dari terbitnya matahari hingga menjelang matahari tergelincir (zawâl). Sedangkan akhir waktu Dhuha, yaitu dengan tergelincirnya matahari yang menjadi awal waktu Zhuhur.
Waktu shalat Dhuha dimulai dari terbitnya matahari hingga menjelang matahari tergelincir (zawâl). Sedangkan akhir waktu Dhuha, yaitu dengan tergelincirnya matahari yang menjadi awal waktu Zhuhur.
Secara rinci Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn menjelaskan
bahwa waktu Dhuha berawal setelah matahari terbit seukuran tombak, yaitu
sekitar satu meter. Adapun dalam perhitungan jam, yang ma’ruf ialah sekitar 12
menit, atau untuk lebih hati-hati sekitar 15 menit. Apabila telah berlalu 15
menit dari terbit matahari, maka hilanglah waktu terlarang dan masuklah waktu
untuk bisa menunaikan shalat Dhuha. Sedangkan akhir waktunya, ialah sekitar
sepuluh menit sebelum matahari tergelincir. [11]
Dalil yang menjadi penetapan awal waktu Dhuha,
yaitu hadits Abu Dzar yang berbunyi:
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ
أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ آخِرَهُ أخرجه الترمذي.
Dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Allah berfirman: “Wahai Bani Adam,
shalatlah untuk-Ku pada awal siang hari empat rakaat, niscaya Aku menjagamu
pada sisa hari tersebut”.
Adapun jeda sebelumnya, karena ada larangan
shalat sebelum matahari tergelincir. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn
rahimahullah menyatakan, “Jika demikian, waktu shalat Dhuha dimulai setelah
keluar dari waktu larangan pada awal siang hari (pagi hari) sampai adanya
larangan saat tengah hari”.[12]
WAKTU PALING UTAMA
Adapun waktu paling utama dalam pelaksanaan shalat Dhuha ialah di akhir waktunya. Demikian menurut penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah, dan hal ini dijelaskan oleh hadits:
Adapun waktu paling utama dalam pelaksanaan shalat Dhuha ialah di akhir waktunya. Demikian menurut penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah, dan hal ini dijelaskan oleh hadits:
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا
يُصَلُّونَ مِنْ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي
غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
Sesungguhnya Zaid bin Arqam melihat satu kaum
melakukan shalat Dhuha, lalu ia berkata: “Apakah mereka belum mengetahui bahwa
shalat pada selain waktu ini lebih utama? Sesungguhnya, dahulu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, shalat al-awwabîn (ialah) ketika anak
onta kepanasan”.[14]
JUMLAH RAKA’AT DAN TATA
CARA SHALAT DHUHA
Seorang muslim disyariatkan melakukan shalat Dhuha dua rakaat, atau empat, atau enam, atau delapan, atau lebih tanpa ada batasan tertentu. Inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah sebagaimana beliau telah menyatakan, bahwa pendapat yang benar, tidak ada batasan maksimalnya, karena ‘Aisyah berkata:
Seorang muslim disyariatkan melakukan shalat Dhuha dua rakaat, atau empat, atau enam, atau delapan, atau lebih tanpa ada batasan tertentu. Inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah sebagaimana beliau telah menyatakan, bahwa pendapat yang benar, tidak ada batasan maksimalnya, karena ‘Aisyah berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ الله
(Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan shalat Dhuha empat rakaat, dan menambahnya sangat banyak).[15]
Seandainya seseorang mengerjakannya sejak
matahari terbit seukuran tombak sampai menjelang matahari tergelincir, misalnya
40 rakaat, maka semua ini termasuk dalam shalat Dhuha.[16]
Adapun pelaksanaannya, semua dilakukan dengan
dua rakaat dua rakaat berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam :
صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى
Shalat malam dan siang adalah dua rakaat dua
rakaat.[17]
Demikianlah beberapa penjelasan mengenai shalat
Dhuha, semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR Muslim, kitab Shalât al-Musâfirîn wa Qashruha, Bab: Istihbâb Shalat ad-Dhuha, hadits No. 720.
[2]. HR Abu Dawud no. 5242 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam kitab Irwâa`ul-Ghaliil, 2/213 dan at-Ta’liq ar-Raghib, 1/235.
[3]. HR at-Tirmidzi, kitab Shalât, Bab: Mâ Jâ`a fi Shalât ad-Dhuha, no. 475. Abu ‘Isa berkata: “Hadits hasan gharib”. Hadits ini dishahîhkan Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau atas kitab at-Tirmidzi. Juga dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi, 1/147.
[4]. HR al-Hâkim dalam al-Mustadrak, 1/314. Syaikh al-Albâni menilai sebagai hadits hasan dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah no. 1994; lihat 2/324.
[5]. Lihat asy-Syarhu al-Mumti’, 4/115-117. Shahih Fiqhis-Sunnah, 1/422-424. Zâdul-Ma’âd, 1/318-348.
[6]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/116.
[7]. HR Muslim, kitab Shalaat al-Musâfirîn wa Qashruha, Bab: Istihbâb Shalât ad-Dhuha, hadits no. 719.
[8]. Zâdul-Ma’âd, 1/346.
[9]. Majmu’ Fatâwâ, 22/284.
[10]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/117.
[11]. Lihat asy-Syarhul-Mumti’, 4/122-123.
[12]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/123.
[13]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/123.
[14]. HR Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Shalat al-Awwabina Hiina Tarmidhu al-Fishâl, no. 748.
[15]. HR Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Shalat ad-Dhuha, no. 719.
[16]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/119.
[17]. HR an-Nasâ`i, dalam kitab Qiyâmul-Lail wa Tathawu’ an-Nahar, Bab: Kaifa Shalatul-Lail, 3/227. Ibnu Majah dalam kitab Iqâmat ash-Shalat was-Sunnah fî ha, Bab: Mâ Jâ fî Shalatul-Lail wan-Nahâr Matsna-Matsna, no. 1322. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Ibnu Majah, 1/221
_______
Footnote
[1]. HR Muslim, kitab Shalât al-Musâfirîn wa Qashruha, Bab: Istihbâb Shalat ad-Dhuha, hadits No. 720.
[2]. HR Abu Dawud no. 5242 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam kitab Irwâa`ul-Ghaliil, 2/213 dan at-Ta’liq ar-Raghib, 1/235.
[3]. HR at-Tirmidzi, kitab Shalât, Bab: Mâ Jâ`a fi Shalât ad-Dhuha, no. 475. Abu ‘Isa berkata: “Hadits hasan gharib”. Hadits ini dishahîhkan Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau atas kitab at-Tirmidzi. Juga dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi, 1/147.
[4]. HR al-Hâkim dalam al-Mustadrak, 1/314. Syaikh al-Albâni menilai sebagai hadits hasan dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah no. 1994; lihat 2/324.
[5]. Lihat asy-Syarhu al-Mumti’, 4/115-117. Shahih Fiqhis-Sunnah, 1/422-424. Zâdul-Ma’âd, 1/318-348.
[6]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/116.
[7]. HR Muslim, kitab Shalaat al-Musâfirîn wa Qashruha, Bab: Istihbâb Shalât ad-Dhuha, hadits no. 719.
[8]. Zâdul-Ma’âd, 1/346.
[9]. Majmu’ Fatâwâ, 22/284.
[10]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/117.
[11]. Lihat asy-Syarhul-Mumti’, 4/122-123.
[12]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/123.
[13]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/123.
[14]. HR Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Shalat al-Awwabina Hiina Tarmidhu al-Fishâl, no. 748.
[15]. HR Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Shalat ad-Dhuha, no. 719.
[16]. Asy-Syarhul-Mumti’, 4/119.
[17]. HR an-Nasâ`i, dalam kitab Qiyâmul-Lail wa Tathawu’ an-Nahar, Bab: Kaifa Shalatul-Lail, 3/227. Ibnu Majah dalam kitab Iqâmat ash-Shalat was-Sunnah fî ha, Bab: Mâ Jâ fî Shalatul-Lail wan-Nahâr Matsna-Matsna, no. 1322. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Ibnu Majah, 1/221
0 komentar:
Posting Komentar